MEDIA EMITEN – Boris Johnson akan mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Perdana Menteri Inggris pada hari ini, Kamis 7 Juli 2022.
Sumber pemerintah mengatakan, dia ditinggalkan oleh para menteri dan anggota parlemen Partai Konservatif sehingga tidak lagi layak untuk memerintah, demikian dikutip dari Reuters.
Dengan delapan menteri, termasuk dua sekretaris negara, mengundurkan diri dalam dua jam terakhir, Johnson yang terisolasi dan tidak berdaya ditetapkan untuk tunduk pada yang tak terhindarkan dan menyatakan bahwa dia akan mengundurkan diri nanti.
Menteri keuangan dan menteri kesehatan Inggris serta beberapa pejabat di bawah mereka meletakkan jabatan pada Selasa. Mereka mengatakan tak bisa lagi bekerja untuk pemerintah setelah serangkaian skandal menghantam pemerintahan Johnson.
Baca Juga:
BUMN Hadir di INACRAFT 2025: Mendorong UMKM Naik Kelas, Memajukan Ekonomi Kreatif Indonesia
BRI Berhasil Jaga Stabilitas Kinerja, Melalui Keberpihakan Terhadap UMKM dan Ekonomi Kerakyatan
BRI Masuk Jajaran Perusahaan Elite di Kawasan Asia – Pasifik 2025 versi Majalah TIME
Johnson, mantan jurnalis dan wali kota London yang mewakili wajah Inggris pasca-Brexit, memenangi pemilihan secara telak pada 2019. Sejak itu, pemerintahannya telah mengambil pendekatan agresif dan tak jarang memicu kekisruhan.
Kepemimpinannya diwarnai berbagai skandal dan salah langkah selama beberapa bulan terakhir.
Sang perdana menteri didenda polisi karena melanggar penguncian COVID-19 dan sebuah laporan yang memberatkan diterbitkan tentang kelakuan para pejabatnya di Downing Street –sebutan bagi kantor dan kediaman perdana menteri Inggris– yang melanggar aturan pembatasan COVID-19 yang mereka buat sendiri.
Ada juga kebijakan yang berubah arah, pembelaan pada anggota parlemen yang melanggar aturan lobi, dan kritik bahwa Johnson tak cukup bertindak untuk mengatasi krisis yang membuat banyak warga Inggris kesulitan menghadapi kenaikan harga pangan dan bahan bakar.
Baca Juga:
Mendorong UMKM Naik Kelas dan Go Global, Pemerintah Apresiasi Keberpihakan BRI
Sebanyak 3 Anggota Bursa Siap untuk Fasilitasi Transaksi Short Selling, Termasuk Mandiri Sekuritas
Elon Musk Tawar Perusahaan pada Harga 97,4 Miliar Dolar AS, Begini Respons CEO OpenAI Sam Altman
The Times of London mengatakan “rentetan ketidakjujuran” Johnson “betul-betul merusak” pemerintahan yang efektif. “Demi kebaikan negara ini, dia harus pergi,” kata harian itu.
Drama terbaru di jantung kekuasaan Inggris muncul ketika ekonomi merosot tajam. Para ekonom mengingatkan bahwa negara itu bisa jatuh ke dalam resesi.
Skandal terakhir muncul ketika Johnson meminta maaf telah menunjuk seorang anggota parlemen untuk ditugaskan di partainya, bahkan setelah diberi tahu bahwa politikus itu pernah dilaporkan dalam kasus pelanggaran seksual.
Skandal itulah yang mendorong Rishi Sunak mundur sebagai menteri keuangan dan Sajid Javid melepas jabatannya sebagai menteri kesehatan, sementara setengah lusin pejabat yunior juga ikut mengundurkan diri.
Baca Juga:
Konsisten Melayani UMKM, BRI Cetak Laba Rp60,64 Triliun
Tingkatkan Daya Saing Bersama BRI, Balee Scents Siap Melangkah ke Pasar Dunia
Jajak pendapat singkat YouGov menunjukkan bahwa 69% warga Inggris berpendapat Johnson harus turun dari kursi perdana menteri.
Jika Johnson lengser, proses untuk mencari penggantinya akan memakan waktu beberapa bulan.
Dua setengah tahun yang lalu, Johnson meraup suara mayoritas di parlemen dengan janji akan menyelesaikan persoalan bertahun-tahun sejak Inggris keluar dari Uni Eropa (Brexit).
Namun sejak itu, cara dia menangani pandemi telah menuai kritik dan pemerintahannya bergerak dari satu masalah ke masalah lainnya.
Meski Johnson meraih pujian atas dukungannya kepada Ukraina, hal itu tidak mengerek popularitasnya dalam jajak-jajak pendapat. Peringkat Konservatif berada di bawah partai Buruh oposisi, dan popularitas Johnson anjlok ke titik terendah sepanjang kariernya.
Gaya pemerintahannya yang agresif kepada Uni Eropa telah membebani mata uang Inggris, memperparah inflasi di negara tersebut yang diprediksi akan menembus angka 11%.